Saturday 9 August 2014

The Way We Were


Ini tentang seseorang yang istimewa di hati. Yang tak bisa dilupakan, juga tak bisa kumiliki.



Aku tahu kamu ragu.
Namun, pertemuan pertama kita... selalu berkesan buatku.

Kuingat pertama kali kita mulai dekat. Sejak awal masuk SMA, kita mulai selalu berbicara dan mengobrol bersama, mulai dari hal yang penting hingga tidak penting, mengenai hal - hal masuk akal hingga hal bodoh dan konyol sekalipun. Berbagi cerita, berbagi pengalaman, selalu saling menemani yang pada akhirnya saling mulai mengerti.

Perasaan menggebu - gebu saat bertemu denganmu, hingga detak jantung berdetak lebih cepat walaupun hanya melihatmu dari jauh saja.

Hingga akhirnya, kurasa kita merasakan hal yang sama.

27 September, 2014 
Saat itu kamu menghampiriiku, pulang sekolah seperti biasanya. Mengobrol seperti biasanya sambil memutari sekolah, namun tiba - tiba kamu berhenti. Kamu berhenti, menunjukkan raut wajah berbeda, tidak seperti biasanya. Raut wajah yang tak dapat kuartikan.

Lalu, kamu keluarkan dua kalimat,.........
" Kita udah lama bareng, gue sayang sama lu. Mau gak jadi pacar gue? "

Saat kudengar kalimat itu, otakku dan duniaku terasa berhenti beberapa detik. Otakku tak dapat mencerna apa yang baru saja kudengar. Namun, setelahnya akupun menjawab dengan sungguh - sungguh.

" Mau. "


Mungkin terkesan biasa saja. Tidak ada coklat, bunga, atau kalimat romantis lainnya. Sesimpel itu. Aku tetap menyukainya. Simpel. Tapi memang kurasakan kesungguhan dibalik kalimat tersebut.

Aku tipe perempuan yang serius jika sudah masuk dalam dunia in relationship dan tidak sembarangan. Kuberikan apa yang kupunya padanya yang kusayang dan akan kuusahakan yang terbaik untuknya.

Sejak hari itupun kami selalu meluangkan waktu bersama seperti biasanya, melewati hari - hari lebih bersemangat. Ya, tidak beda jauh dengan percintaan macam anak remaja.
Berbulan - bulan telah kami lewati bersama, hingga titik dimana kami berdua tidak bisa saling mengerti, tidak bisa saling mengalah dan keegoisanpun muncul. Beberapa hari di bulan keenam kami bersama, kami tidak berbicara satu sama lain.


Dia sibuk dengan urusannya sendiri yang sangat sepele. Aku yang tidak mau mengalah dan bersabar menunggunya. Kurasa kita berdua sama - sama salah disini.

Dia yang meninggalkan tanpa kabar dan aku yang lagi - lagi tidak sabar tuk menunggu.

Kukira hal ini akan selesai nantinya walaupun membutuhkan waktu pastinya.

Tapi ternyata, penyelesaian yang dia ambil berbeda dengan apa yang kupikirkan. Bahkan jauh lebih buruk.

Ia mengeluarkan kalimat persetan yang tidak pernah kuharapkan akan keluar dari mulutnya.

Sejak itu kami tak bersama lagi, tidak menghabiskan waktu bersama, kami saling menjauh.

Sebenarnya aku. Aku yang mencoba menjauh. Terlalu sakit ketika aku masih sayang, namun tak bisa memilikinya lagi.

Maka kuputuskan untuk menjauh, mengurangi rasa sakit. Kuharap awalnya rasa itu akan sirna. Namun setelah hampir 6 bulan kami berpisah, kusadari bahwa rasa ini tetap ada.

Rasa sayangku padanya masih tetap di hati, tak kunjung pergi.

Kali ini, kurasakan nyeri pada hatiku jika kumelihatnya dari jauh. Kali ini ada perih saat ia menghampiriku.

Oleh karena itu, tiap kali ku melihatnya, saat ia akan menghampiriku, kulakukan apapun untuk menjauh darinya.

Karena aku masih sayang.

Cinta seperti sesuatu yang mengendap - endap di belakangmu. Suatu saat, tiba - tiba kau baru sadar, cinta menyergapmu tanpa peringatan.


No comments:

Post a Comment